URGENSI MEMASUKKAN SAINS ISLAM DALAM KURIKULUM PENDIDIKAN
PENDAHULUAN
Zaman modern ini, ketika ilmu pengetahuan
telah gagal untuk memecahkan sebuah problematika manusia modern, para Ilmuwan
muslim kembali memeras segenap kemampuannya untuk mencari alternatif metode
ilmu pengetahuan yang baru, yang mampu memberikan sebuah solusi bagi problem
umat manusia saat ini.
Perkembangan ilmu pengetahuan melahirkan
berbagai macam dampak terhadap kehidupan manusia dan lingkungannya, di satu
sisi mampu membantu dan meringankan beban manusia namun disisi lain dapat
merusak dan menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan, bahkan eksistensi itu
sendiri. Problem terpenting yang dihadapi umat Islam saat ini adalah masalah
ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan modern tidak bebas nilai (netral) sebab
dipengaruhi oleh pandangan-pandangan keagamaan, kebudayaan, dan filsafat, yang
mencerminkan kesadaran dan pengalaman manusia Barat.
Islamisasi pengetahuan berarti mengislamkan atau melakukan
penyucian terhadap sains produk Barat yang selama ini dikembangkan dan
dijadikan acuan dalam wacana untuk mengembangkan sistem pendidikan Islam agar
diperoleh sains yang bercorak “khas Islam”.
Islamisasi ilmu pengetahuan mempunyai tujuan mewujudkan kemajuan
peradaban yang Islami dan masing-masing juga tidak menghendaki terpuruknya
kondisi umat Islam di tengah-tengah akselerasi perkembangan kemajuan iptek.
Maka dari itu di sini pemakalah akan membahas tentang urgensi memasukkan Sains Islam
dalam Kurikulum Pendidikan.
PEMBAHASAN
PENGETAHUAN (SAINS) DAN ISLAMISASI
Pengetahuan merupakan hasil dari proses tahu,
mengetahui dan merupakan suatu kegiatan untuk mengetahui sesuatu. Kemudian
pengetahuan yang dikumpulkan menurut suatu aturan tersebut menjadi sebuah
kekayaan yang disebut sebagai ilmu.[1]
Islamisasi Sains merupakan salah satu upaya untuk mengintegrasikan
nilai-nilai Islam ke dalam sebuah ilmu pengetahuan.[2] Gagasan
Islamisasi Sains muncul dikarenakan Sains Modern. Sains Modern yang diangkat
oleh Barat semakin memperlihatkan sebuah perkembangannya dengan memunculkan
berbagai problem dan krisis global yang sangat merisaukan masyarakat.
Islamisasi Sains juga sering diperbincangkan oleh para cendekiawan
muslim, salah satu seorang tokoh yang diidentikkan dengan Islamisasi Sains
adalah Ismail Raji Al- Faruqi ia merupakan seorang sarjana kelahiran Palestina
yang memperlihatkan ketertarikannya dengan Islamisasi Sains, yaitu dengan
mendirikan sebuah lembaga penelitiannya III-T (Internasional Institute Of Islamic
Thought).[3]
Beberapa Ilmuwan Muslim mengatakan bahwasanya Sains dalam Islamisasi
Sains mempunyai pemahaman yang menuai akan perbedaan antara sains, ilmu, dan
pengetahuan. Salah satunya adalah Mulyadhi Kertanegara, ia mengatakan
bahwasanya kata science, sebenarnya terjemahan dari kata ilmu. Tetapi
ilmu di sini dari beberapa ilmuwan muslim mempunyai arti yang berbeda misalnya science
dalam epistemologi Islam, tidak sama dengan pengetahuan biasa saja, Tetapi Ibnu
Hazm mendefinisikan ilmu sebagai pengetahuan tentang sesuatu sebagaimana
adanya.
Oleh karena itu pada dasarnya kata science di sini
diterjemahkan sebagai kata ilmu, dengan syarat bahwa ilmu dalam epistemologi Islam
tidak dibatasi. Islamisasi Sains sering juga disebut sebagai Islamisasi Ilmu
Pengetahuan. Beberapa konsep tentang Islamisasi Sains antara lain:
Pertama, Pendekatan Islamisasi Sains dengan menggunakan instrumentalistik,
yaitu pandangan yang menganggap ilmu atau sains hanya sebagai alat
(instrument). Artinya, Sains di sini lebih menuju kepada alat untuk mencapai
tujuan, dan tidak memedulikan sifat yang ada di dalamnya melainkan dapat
bermanfaat untuk pemakainya.
Jadi Islamisasi di sini adalah bagaimana Umat Islam menguasai
kemajuan yang telah dikuasai oleh Barat. Islamisasi Sains dengan pendekatan ini
sebenarnya tidak termasuk di dalam Islamisasi Sains yang hakiki. Meski
demikian, pendekatan ini dapat menyadarkan umat untuk bangkit melawan
ketinggalan dan mengambil langkah mengembangkan sains dan teknologi.
Kedua, Pendekatan Islamisasi Sains dengan menggunakan konsep Justifikasi.
Maksudnya ialah “pembenaran” yaitu penemuan ilmiah modern, terutama di bidang
ilmu-ilmu alam yang kemudian diberikan justifikasi (pembenaran) melalui ayat
Al-Quran maupun Al-Hadits. Metodologinya adalah dengan cara mengukur kebenaran Quran
dengan fakta-fakta objektif dalam sains modern.
Ketiga, Konsep Islamisasi sains berikutnya menggunakan pendekatan sakralisasi.
Ide tersebut dikembangkan pertama kali oleh Seyyed Hossein Nasr. Menurutnya
Sains Modern yang sekarang ini bersifat sekuler dan jauh dari nilai-nilai
spiritualitas sehingga perlu dilakukan sakralisasi.
Ide sakralisasi sains mempunyai persamaan dengan proses Islamisasi
sains yang lain dalam hal mengkritisi sains sekuler modern. Namun perbedaannya
cukup mencolok karena menurut Nasr, sains sakral (sacred science) dibangun di
atas konsep semua agama sama pada level esoteris (batin). Padahal Islamisasi
sains seharusnya dibangun di atas kebenaran Islam. Sains sakral menafikan
keunikan Islam karena menurutnya keunikan adalah milik semua agama.
Keempat, Islamisasi Sains melalui proses integrasi, yaitu mengintegrasikan
sains Barat dengan menggunakan ilmu-ilmu Islam. Ide ini dikemukakan oleh Ismail
Raji Al-Faruqi. Menurutnya, akar dari kemunduran umat Islam disebabkan karena
adanya dimensi karena dualisme sistem pendidikan.
mengatasi dualisme sistem pendidikan ini merupakan tugas terbesar
kaum Muslimin ketika abad ke 15 H. Ia menyimpulkan solusi dualisme dalam
pendidikan dengan Islamisasi ilmu Sains. Sistem pendidikan harus dibenahi dan
dualisme sistem pendidikan harus
dihapuskan dan di satukan dengan jiwa Islam dan berfungsi sebagai bagian yang
integral dari paradigmanya.
Kelima, Konsep Islamisasi sains yang paling mendasar dan menyentuh akar
permasalahan yang terjadi adalah Islamisasi yang berlandaskan paradigma Islam.
Ide tersebut dinyatakan pertama kali oleh Syeed Naquib Al-Attas. Menurutnya
tantangan terbesar Umat Islam adalah ilmu pengetahuan modern yang tidak netral
telah masuk ke dalam paradigma agama, budaya, dan juga filosofis yang bersumber
dari Barat. Oleh karena itu Islamisasi Sains perlu untuk diteliti dan
diperbaharui kembali.[4]
Secara umum, Islamisasi Sains tersebut dimaksudkan untuk memberikan
respon positif terhadap realitas ilmu pengetahuan modern yang sekularis dan Islam
berusaha untuk tidak memisahkan antara keduanya. Maka dari itu Ismail Raji
Al-Faruqi membuat suatu kerangka kerja dengan lima tujuan dalam rangka mengislamisasikan
ilmu pengetahuan yaitu:[5]
Pertama, adanya penguasaan disiplin Ilmu modern. Kedua, penguasaan
khazanah warisan Islam, Ketiga, Membangun relevansi Islam dengan
masing-masing disiplin ilmu modern. Keempat, memadukan nilai-nilai
dan khazanah warisan secara kreatif dengan ilmu-ilmu modern dan yang Kelima,
pengarahan aliran pemikiran Islam ke jalan-jalan yang mencapai pemenuhan
pola-pola rencana Allah.[6]
Pengertian Dan
Ciri-ciri Sains
Kata
sains berasal dari bahasa latin ”scientia” yang berarti pengetahuan.[7] Yaitu
suatu hal yang merujuk kepada sebuah sistem untuk mendapatkan pengetahuan yang
dengan menggunakan pengamatan dan eksperimen untuk menggambarkan dan
menjelaskan fenomena – fenomena yang terjadi di alam .[8]
Dalam kamus besar Indonesia, kata sains dapat
diartikan sebagai ilmu pengetahuan pada umumnya; pengetahuan sistematis
tentang alam dan dunia fisik, termasuk di dalamnya, botani, fisika, kimia,
geologi, zoologi, dan sebagainya; ilmu pengetahuan alam; pengetahuan
sistematis yang diperoleh dari sesuatu observasi, penelitian, dan uji coba yang
mengarah pada penentuan sifat dasar atau prinsip sesuatu yang sedang
diselidiki, dipelajari, dan sebagainya.[9]
Hans Reichenbach menyebutkan bahwa sains
disebut juga dengan pengetahuan yang bersifat bisa memprediksi (Predictive
Knowledge). Dengan demikian maksudnya yang penting adalah mengetahui
dan bisa menjelaskan alasan, konteks, ruang lingkup, maksud, tujuan, dan fungsi
dari suatu istilah yang kita pakai sehingga orang lain tidak keliru memaknai
hal tersebut. [10]
Di dalam The New Colombia Encyclopedia,
sains diartikan sebagai satu kumpulan ilmu yang sistematis mengenai metafisik
yang bernyawa dan yang tidak bernyawa, termasuk sikap dan kaidah-kaidah yang
digunakan untuk mendapatkan ilmu tersebut. Oleh sebab itu sains adalah
merupakan sejenis aktivitas dan juga hasil dari aktivitas tersebut.[11]
Tidak jauh berbeda apa yang dikatakan oleh R.H.Bube, menurutnya sains adalah
pengetahuan yang berkaitan dengan alam semula jadi yang diperoleh melalui
interaksi akal dengan alam.[12]
Berdasarkan definisi di atas dapat ditegaskan
bahwa sains adalah suatu proses yang terbentuk dari interaksi akal dan
pancaindra manusia dengan alam sekitarnya. Dengan arti kata, objek utama kajian
sains adalah alam empiris termasuk juga manusia. Sedangkan objek sains yang
utama adalah mencari kebenaran.[13]
Berikut ciri-ciri dan hakikat sains secara umum :
1.
Sains Bersifat Logis Dan Rasional
Ciri-ciri sains yang utama adalah
teori-teorinya dikembangkan secara logis, wajar, dan rasional. Artinya ilmu
sains selalu masuk akal dan dapat diterima oleh nalar manusia. Cara berpikir
sains harus sesuai dengan logika manusia yang rasional.
2.
Memiliki Objek Kajian Yang Konkret
Sains harus memiliki objek kajian berupa benda
yang konkret dan nyata. Dengan kata lain objek yang diteliti haruslah objek
nyata yang dapat diterima oleh pancaindra manusia, baik itu benda padat, benda
cair atau benda gas.
3.
Dikembangkan Dengan Metode Yang Sistematis
Ciri sains berikutnya adalah teorinya
dikembangkan oleh langkah-langkah yang sistematis melalui metode ilmiah
tertentu. Langkah sistematis berarti penelitian dilakukan secara urut dan
rinci, serta sesuai dengan metode ilmiah yang digunakan.
4.
Harus Objektif Dan Apa Adanya
Sains haruslah bersifat objektif dan apa
adanya. Artinya dalam penelitian ilmu sains tidak boleh ada rekayasa. Hasil
penelitian harus disampaikan apa adanya sesuai pengamatan yang dilakukan secara
objektif.
5.
Berdasarkan Pengalaman Yang Nyata
Ilmu sains dikembangkan berdasarkan pengalaman
yang nyata yang bersifat faktual. Dengan kata lain, teori-teori sains
berdasarkan observasi atau pengamatan nyata di lapangan yang telah terbukti,
bukan hanya hipotesis yang tidak berdasar.
6.
Teori Sains Bersifat Universal
Teori dan hukum-hukum dalam ilmu sains
haruslah bersifat universal dan global. Artinya semua yang dilakukan dalam
pengambilan eksperimen dapat dilakukan dimana saja, oleh siapa saja dan kapan
saja di seluruh dunia.
7.
Bersifat Falsifiable Atau Dapat Dibuktikan
Sains haruslah bersifat falsifiable atau
dapat dibuktikan. Maksudnya hipotesis-hipotesis dalam sains bisa dibuktikan
melalui percobaan, eksperimen, atau observasi nyata pada objek yang diteliti
untuk membuktikan kebenarannya.
8.
Bisa Diulang Dengan Hasil Yang Sama
Eksperimen dalam sains harus dapat diulang dan
akan tetap menghasilkan hasil yang sama. Artinya berapa kali pun eksperimen
dilakukan maka kesimpulan yang didapat tetap sama, tanpa ada perbedaan atau
perubahan.
9.
Tidak Menerima Kebetulan Yang Tidak Disengaja
Dalam ilmu sains, semua penelitian harus
dilakukan secara empiris dan detail. Tidak ada yang namanya kebetulan dalam
sains. Artinya hal-hal yang bersifat kebetulan yang tidak disengaja tidak dapat
dimasukkan dalam teori sains.
Perbedaan Sains Dan Ilmu Pengetahuan
Menurut Epistemologi Barat Sains berbeda
dengan knowledge, sebagaimana ilmu dalam epistemologi Islam
berbeda dengan opini. Ilmu merupakan pengetahuan tentang sesuatu sebagaimana
adanya, dengan demikian ilmu bukanlah sekedar opini/dugaan semata, melainkan
sebuah pengetahuan yang telah teruji kebenarannya.
Pada prinsipnya, Ilmu dan Sains bukanlah dua
entitas yang berbeda, melainkan dua unsur yang memiliki kesamaan, hanya saja
sains terbatasi pada bidang fisik saja, sedangkan ilmu melampaui itu semua
termasuk metafisika. Dalam hal ini akan didiskusikan permasalahan seputar Ilmu
dan Sains. Dalam hal ini penulis mengawali pembahasan kali ini dengan
mengemukakan pengertian Sains.
Dalam pengertiannya Sains berasal dari kata
latin “scire” yang artinya mengetahui. Sedangkan dalam arti
bahasa Sains diartikan sebagai “keadaan atau fakta mengetahui dan sering
diambil arti ilmu pengetahuan (knowledge) yang dikontraskan dengan
intuisi atau kepercayaan”. Dalam perkembangannya Sains diartikan sebagai
“pengetahuan yang sistematis berdasarkan observasi inderawi”. Dari
sinilah kita akan mengetahui bahwasanya Sains hanya melakukan kajiannya
pada alam dan wilayah/dunia fisik. Dengan menyaratkan observasi, maka
Sains dituntut untuk mampu berhubungan dengan benda-benda fisik seperti; kimia,
biologi, astronomi, bahkan bidang-bidang psikologi dan sosiologi. Dalam hal ini Aguste Comte salah seorang bapak
sosiolog asal Jerman menyatakan bahwa “sains itu bersifat
positivistic”. Dan inilah yang kita katakan sebagai unsur paling
mendasar dari Sains.
Dalam realitas keilmuan saat ini timbul perdebatan,
Apakah matematika bagian dari ilmu atau Sains?. pertanyaan ini bisa kita tepis
dengan pengetahuan Sains yang menjadikan dunia fisik/hukum positivistic
sebagai landasan dasar Sains. Dengan demikian tidak berlebihan kiranya
menjadikan Matematika sebagai bagian dari Sains. Hal tersebut bisa kita ketahui
bahwa objek kajian Matematika dasar adalah bertumpu pada benda-benda fisik
walaupun pada dirinya tidak bersifat fisik.
Kemudian selanjutnya ilmu, secara
bahasa Ilmu berakar kata '‘Ilm/alima” yang artinya mengetahui, pengertian
Ilmu di sini sama halnya dengan pengertian Sains seperti yang penulis ungkapkan
di atas. Lantas Apa perbedaan Ilmu dan Sains? Adakah perbedaan antara keduanya?.
Dalam hal ini Ilmu memiliki kriteria seperti halnya Sains sebagai pengetahuan
yang sistematis dan terorganisasi. Namun yang membedakan antara keduanya adalah
sains membatasi dirinya pada bidang-bidang empiris positivistic,
sedangkan ilmu melampaui itu semua dengan melibatkan pembahasannya pada bidang
non empiris, seperti matematika dan metafisika.
Dengan demikian maka bisa kita ambil kesimpulan,
bahwasanya antara Sains dan Ilmu memiliki pengertian yang sama. Namun dalam
perjalanannya Sains membatasi dirinya pada dunia fisik ansich (dengan
segala kompleksitasnya). Sedangkan ilmu tetap konsisten dengan
tetap menjadikan Matematika dan Metafisika sebagai lahan kajiannya.
Secara ringkasnya Perbedaan ilmu, Pengetahuan
dan Sains, Ilmu adalah pengetahuan tentang sesuatu hal atau fenomena, baik yang
menyangkut alam atau sosial (kehidupan masyarakat, yang diperoleh manusia
melalui proses berpikir. Itu artinya bahwa setiap ilmu merupakan pengetahuan
tentang sesuatu yang menjadi objek kajian dari ilmu terkait. Pengetahuan adalah
segala sesuatu yang datang sebagai hasil dari aktivitas pancaindra untuk
mengetahui, yaitu terungkapnya suatu kenyataan dalam jiwa sehingga tidak ada
keraguan terhadapnya. Sedangkan, ilmu menghendaki lebih jauh, luas dan dalam
dari pengetahuan. Sains adalah bagian kecil dari ilmu atau merupakan salah satu
disiplin ilmu yang lebih khusus pada bidang tertentu yakni lebih ke bidang
teknologi.
Sains Islam
Dalam kajian sains, Quran telah memberikan
dasar yang jelas, banyak ayat-ayat Quran yang menyentuh berbagai bidang dalam
disiplin sains. Dalam buku Quranic Sicences, Afzalu Rahman telah
menyebutkan sebanyak 27 cabang ilmu sains yang disentuh oleh Quran. Di antaranya
kosmologi, astronomi, astrologi, fisika, kimia serta bertani dan
lain sebagainya.[14]
Hal ini menjadi bukti terhadap relevansi sains
dalam agama. Selain itu Quran selalu menganjurkan manusia untuk mengasah dan
menggunakan nalar . Suatu hal yang perlu diingat bahwa Quran bukanlah kitab
sains, maka cara pendekatannya tidak sama dengan cara sains modern. Pendekatan
sains memisahkan sesuatu dari semua yang ada kemudian menganalisis secara
terperinci, sedangkan Quran berbicara tentang sains dalam bentuk holistic
dan global serta ditempatkan pada berbagai surah di antaranya ayat 44, 73, 242,
surah al-Baqarah, begitu pula ayat 118 surah Ali Imran, ayat 61 surah al-Nur
dan ayat 30 surah al-Mukminun.
Penekanan sains dalam Quran lebih dititik
beratkan pada fenomena-fenomena alam, objek utama pemaparan ayat-ayat seperti
ini adalah sebagai tanda keesaan dan kekuasaan Khalik, Bahkan, perbincangan
tentang ayat-ayat ini merupakan tema utama dalam Quran. Dengan demikian dapat
dipahami bahwa terdapat kaitkan yang kuat antara Quran dengan fenomena alam.
Dalam konteks tersebut menurut Sayyid Husin al-Nasr, kedua-duanya merupakan
ayat Allah. Alam merupakan kitab yang terbentang lebar (Al-Kitab al-Maftuh)
yang tidak ditulis dan dibaca, diibaratkan sebuah teks, alam bagaikan
sehamparan bahan-bahan yang penuh dengan lambang-lambang (ayat) yang mesti dipahami
menurut maknanya. Quran merupakan kitab yang dibaca( al-Kitab al-Maqru’) yaitu
teks dalam bentuk kata- kata yang dipahami oleh manusia.
Menurut Sayyid Hussen Al-Nasr kata science
dalam bahasa Inggris tidak dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Arab sebagai
AlIlm, karena konsep ilmu pengetahuan yang dipahami oleh barat ada perbedaannya
dengan ilmu pengetahuan menurut perspektif Islam.[15]
Berikut beberapa peran sains dalam Islam :
1.
Memperteguh Keyakinan Terhadap Allah
Terbentuknya alam semesta ini dengan berbagai
fenomenanya merupakan kunci hidayah Allah, demikian dikatakan oleh Sayyid Qutb
dalam kitab fi Zilal Quran.[16]
Menurut Yusuf Qardhawi, hal tersebut merupakan kitab Allah yang terbentang
untuk manusia membaca kekuasaan dan kebesaran-Nya.[17]
Sekalipun Tuhan merupakan tema sentral dalam Quran,
namun tidak pernah memberikan gambaran figurative tentang penciptaan,
namun hanya menyebut tanda-tandanya saja. Keadaan seperti ini membawa implikasi
bahwasanya untuk memahami sifat Tuhan , seseorang perlu mengkaji dan mengenal
semua aspek ciptaannya. Seperti telah dijelaskan sains adalah pengkajian
terhadap fenomena alam dengan menggunakan metode ilmiah, sains mempunyai
korelasi dengan proses pengenalan manusia terhadap sifat-sifat Tuhan. Setiap
benda dan setiap fenomena alam menjadi bukti kewujudan dan kekuasaan Allah
Sains mempunyai peran memperteguh keyakinan manusia terhadap Allah. Sains telah
membuktikan bahwa jagat raya ini bersifat tertib, dinamis dan segala elemennya
saling berkaitan dengan cara yang rapi dan teratur. Penemuan seperti ini
membuktikan kekuasaan Allah sebagai Rab semesta alam.
2.
Menyingkap Rahasia Tasyri’
Sebagian hikmah dan maslahah di balik
disyariatkannya suatu hukum di dalam Quran dapat diungkapkan melalui sains.
Sains dapat membuktikan bahwa hukum yang telah ditetapkan oleh Quran adalah
mengenai realitas kehidupan dan kondisi alam yang sebenarnya. Sebagai contoh
dapat dilihat tentang hukum khamar, Quran mengharamkan karena memberi efek
negatif terhadap sistem dan organ tubuh manusia, dengan menggunakan sains, akan
dapat dilihat lebih jelas sejauh mana dampak negatif yang ditimbulkannya,
sehingga pantas diharamkan.
Namun demikian perlu digaris bawahi, bahwa
agama tidak boleh hanya dipahami melalui teori sains semata, sebab sikap sains
ini tidak sama dengan sikap ibadah , Tuhan tidak akan dapat dikenali dan agama
tidak dapat dihayati hanya dengan teori-teori sains belaka, namun jika sains
dijadi pendukung untuk memahami agama lebih dalam lagi, tentu akan dapat
memberi kesan yang lebih positif lagi terhadap hukum-hukum agama serta lebih
memberi keyakinan bagi orang Islam untuk mengamalkannya.
3.
Bukti Kemukjizatan Quran.
Untuk membuktikan kemukjizatan Quran, sains
juga dianggap sebagai sesuatu yang penting, sebab banyak perkara yang waktunya
belum sampai telah disebutkan dalam Quran. Ketika Quran turun, kondisi manusia
untuk memahami fenomena alam yang disinyalir oleh Quran belum lagi memadai, hal
ini dapat dilihat tentang asal usul kejadian manusia, seperti yang disinyalir
dalam surah al-An’am ayat 2 yang menyatakan manusia berasal dari tanah. Dalam
kajian sains, bahwa yang dimaksud dengan tanah pada ayat tersebut adalah tanah
yang terdiri beberapa unsur tertentu. Menurut analisa kimia terdapat 105 unsur
pada tanah yang semuanya ada pada diri manusia walaupun kadarnya berbeda- beda,
selain itu ada unsur-unsur kecil lainnya yang tidak dapat dideteksi. Oleh sebab
itu penemuan sains amat penting untuk menghayati maha bijaksananya Allah.[18]
4.
Menyempurnakan Tanggung Jawab Peribadatan.
Dalam menjalani kehidupan manusia butuh
beberapa bantuan, pengetahuan tentang sains merupakan salah satu yang
dibutuhkan, begitu pula dalam hal hubungannya dengan Allah sebagai tuhan semesta,
pengetahuan tentang sains juga dibutuhkan. Shalat sebagai ibadah yang wajib
ditunaikan diperintahkan untuk menghadap kiblat, Untuk menentukan arah kiblat
diperlukan ilmu geografi dan astronomi, begitu juga terhadap penentuan
waktu-waktu menjalankan sholat serta penentuan awal dan akhir bulan Ramadan.
Dengan demikian sains diperlukan dalam ibadah puasa Ramadhan. Dalam masalah
zakat pengetahuan tentang matematika tidak dapat dikesampingkan begitu saja,
begitu juga dengan ibadah haji, diperlukan arah penunjuk jalan serta
transportasi yang dijadikan alat angkutan dari berbagai penjuru dunia menuju
kota Makkah, yang semua itu memerlukan sains.
Dengan menggunakan sains para dokter dapat
mendeteksi dan selanjutnya mengobati berbagai macam penyakit dan kesehatan akan
dapat terjaga dengan baik sehingga manusia akan dapat beribadah kepada tuhannya
secara sempurna. Dengan demikian dapatlah dipahami bahwa sains merupakan salah
satu sarana penunjang untuk kesejahteraan kehidupan manusia serta penunjang
kesempurnaan ibadah seorang hamba terhadap tuhannya. Dari penjelasan-penjelasan
di atas dapat diketahui bahwa sains juga merupakan sesuatu yang urgensi untuk
memenuhi tuntutan agama. Dalam Quran Allah menganjurkan orang-orang Islam untuk mempersiapkan diri dengan kekuatan seoptimal mungkin,
sama ada kekuatan mental maupun material untuk mempertahankan diri dari ancaman
musuh, sebagaimana yang dijelaskan dalam Quran ayat 60 surah Al- An’am.
Kekuatan material seperti peralatan perang
dalam menuntut kepada kecanggihan dan ketrampilan umat Islam dalam bidang sains
dan teknologi. Alam semesta ini diciptakan Allah untuk kepentingan dan
kebutuhan hidup manusia sebagaimana dijelaskan pada ayat 20 surah Lukman. Dalam
rangka mendapatkan berbagai fasilitas diperlukan pengolahan terhadap sumber
daya alam yang dikaruniakan oleh Allah, dan untuk memperoleh hasil yang
maksimal tentunya diperlukan berbagai ilmu pengetahuan, terutama ilmu pengetahuan
tentang sains dan teknologi. Pemanfaatan sumber daya alam adalah sebagian dari
pada aktivitas sains. Dalam konteks ini, menurut Muhammad Qutb, pada prinsipnya
sains adalah merupakan suatu cara melaksanakan tugas yang diamanahkan oleh
Allah kepada umat manusia.[19]
KURIKULUM PENDIDIKAN
Kurikulum merupakan bagian terpenting dalam
Pendidikan, karena dengan kurikulum sebuah Pendidikan dapat tertata dengan rapi
dan memiliki pencapaian yang diinginkan. Kata kurikulum diambil dari Bahasa
Yunani yaitu curir yang berarti pelari, dan curere yang berarti
tempat berpacu atau tempat berlomba. Sehingga, dapat diartikan sebagai jarak
perlombaan yang harus ditempuh oleh pelari dalam suatu arena perlombaan.[20]
Menurut Zais kurikulum dapat dipahami sebagai
program mata pelajaran, dengan kata lain kurikulum mencakup suatu daftar atau
judul mata pelajaran yang disampaikan oleh sekolah. Pandangan lain menyebutkan
bahwa kurikulum ialah isi mata pelajaran tertentu dalam program atau data dan
informasi yang terekam dalam membimbing pelajar melalui buku catatan yang
diperlukan dan disediakan dalam rencana pembelajaran.[21]
Kurikulum bisa diartikan secara sempit dan
luas dalam dunia Pendidikan. Secara sempit kurikulum diartikan hanya sebagai
sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh atau diselesaikan siswa di sekolah
atau di perguruan tinggi. Secara lebih luasnya kurikulum dapat diartikan
sebagai aktivitas apa saja yang dilakukan di sekolah oleh para siswa dalam
rangka mencapai suatu tujuan, seperti halnya belajar mengajar, kegiatan eksternal,
serta strategi dalam pembelajaran.[22]
Secara terminologi kurikulum dalam Pendidikan
adalah sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh dan diselesaikan peserta
didik di sekolah untuk memperoleh ijazah. Pengertian ini termasuk pengertian
yang tradisional, sehingga dapat disimpulkan bahwasanya ada beberapa implikasi
yang terdapat di dalam kurikulum di antaranya kurikulum terdiri dari sejumlah
mata pelajaran, peserta didik harus mempelajari dan menguasai seluruh mata
pelajaran, mata pelajaran tersebut hanya dipelajari di sekolah, serta tujuan
akhir kurikulum adalah untuk memperoleh ijazah.[23]
Dalam perencanaan kurikulum harus
memperhatikan karakteristik baik dalam kerangka penyusunan kurikulum yang
benar-benar baru (perumusan awal), maupun dalam rangka pengembangan kurikulum
agar sasaran perencanaan kurikulum memenuhi harapan Stakeholders
Pendidikan dan perkembangan anak didik. Karakteristik pengorganisasian
kurikulum meliputi beberapa bidang yaitu kurikulum mata pelajaran, dengan mata
pelajaran berkorelasi, kurikulum bidang studi, kurikulum integrasi dan
kurikulum inti.[24]
SEJARAH KURIKULUM INDONESIA
Kurikulum sejatinya telah ada semenjak zaman
penjajahan yaitu saat datangnya orang-orang Eropa pada masa kompeni Belanda dan
masa pemerintahan Jepang sampai periode kemerdekaan. Pada masa kompeni, kurikulum
saat itu memiliki misi penyebaran agama dan untuk mempermudah pelaksanaan
perdagangan di Indonesia. Lembaga-lembaga Pendidikan yang bertujuan untuk
menyebarkan agama Kristen di Indonesia telah berdiri pada abad 16 dan 17, dan
Pendidikan hanya untuk bangsa Belanda dan
pribumi, sehingga menurut pihak kompeni mereka membutuhkan pegawai
rendahan yang dapat membaca dan menulis. Sedangkan pada zaman penjajahan
Jepang, perkembangan Pendidikan mempunyai arti tersendiri bagi bangsa Indonesia
yaitu terjadinya keruntuhan sistem pemerintahan Kolonial Belanda, sedangkan
tujuan utama dari pendidikannya adalah untuk memenangkan perang.[25]
Setelah kemerdekaan Indonesia, kurikulum di
Indonesia mengalami perubahan sebanyak 9 kali yaitu dimulai pada tahun 1947,
1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004, 2006 dan 2013. Namun, Kemendikbud
memiliki pemaparan yang berbeda bahwasanya perkembangan kurikulum dimulai dari
tahun 1947, 1954, 1968, 1973 yang berisi (proyek perintis sekolah pembangunan),
1975, 1984, 1994, 1997 yang berisi (revisi kurikulum 1994), 2004 yaitu
(kurikulum berbasis kompetensi), 2006 (kurikulum tingkat satuan Pendidikan),
dan terakhir 2013.[26]
PENDIDIKAN DALAM DUNIA ISLAM
Islam
adalah agama yang sempurna yang mengatur semua bidang kehidupan (QS. Al-Maidah:
3). Islam menyentuh seluruh segi kehidupan. Ia adalah negara dan tanah air,
pemerintahan dan umat, akhlak dan kekuatan, kasih sayang dan keadilan,
peradaban dan perundang-undangan, ilmu dan peradilan, materi dan sumber daya
alam, penghasilan dan kekayaan, jihad dan dakwah, pasukan dan pemikiran,
sebagaimana ia adalah akidah yang lurus dan ibadah yang benar.[27]
Islam
juga agama yang tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi darinya. Al Islamu
ya’la alaihi. Umat Islam disebut sebagai khoiru-l-umah, sebagaimana
diungkapkan dalam Quran Surat Ali Imron ayat 110. Ungkapan khoiru-l-umah ini tidak hanya menjadi sebuah slogan
kebanggaan semata, tetapi telah dibuktikan oleh umat Islam dengan menguasai
sebagian besar wilayah di dunia dan membangun sebuah peradaban yang tak tertandingi
pada masanya. Ketika orang-orang Eropa masih tenggelam dalam peradaban yang
teramat gelap gulita, dunia Islam telah menjadi pusat peradaban yang menerangi
seluruh dunia dengan Cahaya gilang gemilangnya.[28]
Dunia
Islam kini mengalami banyak sekali perubahan-perubahan dalam segala bidang
termasuk dari segi pendidikan. Hal ini berkaitan dengan pembaharuan dan pola
pendidikan yang ada di dalamnya. Baik dari segi materi, metode pengajaran,
konsep dan sarana yang digunakan ketika proses belajar mengajar berlangsung.
Dari perpindahan yang serba tradisional menuju kemodernan dan bersifat terbuka
dalam hal apa pun guna menerima sesuatu yang baru dan semua itu berkaitan
dengan kemajuan-kemajuan yang ada di dalamnya.[29]
Pendidikan
Islam yang diartikan sebagai pendidikan berdasarkan Quran, Hadist dan akal.
Penggunaan dasar ini haruslah berurutan, Quran terlebih dahulu dijadikan
sebagai sumber dari segala sumber, bila tidak ada atau tidak jelas di dalam Quran
maka harus dicari dalam hadis, bila masih tidak jelas atau tidak ada di dalam
hadis barulah digunakan akal (pemikiran), tetapi temuan akal itu tidak boleh
bertentangan dengan jiwa Quran dan Hadist.[30]
Dalam
pandangan M. Yusuf Al-Qardhawi, Pendidikan Islam merupakan Pendidikan manusia
seutuhnya, akal dan hatinya, rohani dan jasmaninya, akhlak dan keterampilannya.
Sementara itu Hasan Langgulung merumuskan Pendidikan Islam sebagai suatu proses
penyiapan generasi muda untuk mengisi peranan, memindahkan pengetahuan dan
nilai-nilai Islam yang diselaraskan dengan fungsi manusia untuk beramal di
dunia dan memetik hasilnya di akhirat. Sejalan itu, Muhammad Atiyah Al-Ibrasyi
berpendapat bahwa Pendidikan Islam itu adalah Pendidikan yang berdasarkan pada
etika Islam, pembentukan moral, dan Latihan jiwa. Sehingga, tujuan akhir
Pendidikan Islam tersebut adalah membentuk manusia yang bertakwa supaya selamat
dalam kehidupannya, sebagaimana tertera dalam surat Al-Imran ayat 102:
يٰٓاَيُّهَا
الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ حَقَّ تُقٰىتِه وَلَا تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَاَنْتُمْ مُّسْلِمُوْنَ[31]
Sejalan
dengan cita-cita Islam yang menjadi dasar Pendidikan Islam, maka prioritas
kegiatan Pendidikan Islam harus diarahkan untuk mencapai tujuan yaitu
menghasilkan para lulusan yang memiliki pandangan ajaran Islam yang luas,
menyeluruh dan holistik serta mampu mengaplikasikannya sesuai dengan tingkat
usia anak didik dan perkembangan zaman.[32]
Sumbangan
pemikiran Islam terhadap peradaban dunia telah diakui secara terbuka, objektif,
dan simpatik oleh para sarjana Barat. Satu hal yang menarik adalah para cerdik
cendekia tersebut mempunyai pandangan yang menunjukkan adanya kesatu paduan
antara ilmu, iman, dan amal. Spirit yang mendasari mereka dalam mengembangkan
ilmu pengetahuan, faktor yang dominan adalah dorongan agama. Dorongan agama ini
mewujudkan pada keinginan untuk merealisasikan keimanan mereka dan
mengimplementasikannya dalam amal sholeh yang lebih luas. Tradisi ilmiah
dalam masyarakat muslim pada saat itu mempunyai nilai yang sangat “Islamis”
karena kuatnya pengaruh dari kitab suci Quran.[33]
Adapun tujuan Pendidikan Islam menurut M
Muhammad Athiyah Al-Abrasy yakni pembentukan akhlak mulia, keseimbangan
kehidupan dunia dan akhirat, mengarahkan aspek-aspek kemanfaatan, menumbuhkan
semangat ilmiah, serta penyiapan tenaga profesional. Begitu pula dengan
pendapat Kursyid Ahmad menyatakan bahwa tujuan Pendidikan Islam adalah penanaman
akidah Islamiyah, penanaman tanggung jawab sosial, pembentukan akhlak al-karimah
dan mewujudkan eksistensi manusia sebagai khalifah di bumi.[34]
Sementara tujuan akhir yang akan dicapai
adalah mengembangkan fitrah peserta didik, baik ruh, fisik, kemauan, dan
akalnya secara dinamis, sehingga akan terbentuk pribadi yang utuh dan mendukung
bagi pelaksanaan fungsinya sebagai khalifah fi al-ardh. Pendekatan
tujuan ini memiliki makna, bahwa upaya Pendidikan Islam adalah pembinaan
pribadi muslim sejati yang mengabdi dan merealisasikan kehendak Tuhan sesuai
dengan syariat Islam, serta mengisi tugas kehidupan di dunia dan menjadikan
kehidupan akhirat sebagai tujuan utama pendidikannya.[35]
Dan
untuk mewujudkan manusia yang sanggup menghadapi tantangan, peluang dan kendala
dalam memasuki kehidupan masa depan itu, pendidikan Islam memiliki peluang yang
amat luas. Hal ini mudah dimengerti karena pendidikan Islam adalah pendidikan
yang seimbang dalam mempersiapkan anak didik. Yaitu anak didik yang tidak hanya
mampu mengembangkan kreativitas intelektual dan imajinasi secara mandiri,
tetapi juga memiliki ketahanan mental spiritual yang baik serta mampu
beradaptasi dan menjawab problematika yang dihadapinya sesuai kerangka dasar
ajaran Islam.[36]
URGENSI MEMASUKKAN SAINS ISLAM DALAM KURIKULUM
PENDIDIKAN
Agama
dan sains merupakan kesatuan ilmu yang saling berkaitan dan harus berdampingan
independen satu sama lain. Dalam Islam, agama dan sains memiliki dasar
metafisik yang sama bertujuan untuk mengungkapkan ayat-ayat kekuasaan Allah
yang tersimpan dibalik gejala-gejala alam.[37]
Penggunaan rasio tidak dapat terlepas dari iman kepada Allah yang transenden,
juga tidak dapat terlepas dari nilai-nilai, ajaran-ajaran, dan prinsip-prinsip
yang disampaikan kepada manusia dengan perantara wahyu Ilahi.[38]
Maka dari itu, perlu adanya sains Islam atau Islamisasi sains.
Dewasa
ini, kurikulum pendidikan telah terdikotomi. Sebagian besar kurikulum
pendidikan yang diterapkan di Indonesia, merupakan kurikulum barat yang mana
ilmu pengetahuan umum dan agama dipisahkan. Pengetahuan yang berkembang
cenderung sekuler dan menuai banyak permasalahan dalam perkembangannya.[39]
Untuk itu, diperlukan kurikulum pendidikan yang tepat dan sesuai dengan ajaran
agama Islam. Kurikulum terebut harus sesuai dengan nilai-nilai falsafah
pendidikan Islam yang orientasinya menjadikan manusia sebagai kholifatu
fi-l-ardh.[40]
Melihat
dari kurikulum pendidikan sekuler yang ada sekarang, tidak sedikit yang
menganut kurikulum Islam yang dirasa masih belum dapat berkembang dan hanya
terfokus kepada ilmu agama, belum pada ilmu pengetahuan (sains) secara
menyeluruh.[41]
Sehingga, sains Islam belum dapat direalisasikan. Memasukkan sains Islam ke
dalam kurikulum pendidikan dirasa sangat perlu dengan adanya beberapa
pertimbangan berikut:
1.
Umat Islam pernah memiliki zaman keemasan dalam bidang ilmu
pengetahuan. Banyak ulama yang ahli dalam berbagai bidang, banyak buku yang
diterbitkan bahkan masih dapat kita baca saat ini. Namun kini, umat Islam
mengalami kejumudan dam kemunduran, berbanding terbalik dengan barat.[42]
Dengan memasukkan sains Islam dalam kurikulum pendidikan, diharapkan mampu
mengembalikan Islam ke masa kejayaannya dengan mengedepankan Iman.
2.
Umat Islam membutuhkan sistem sains untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhannya baik secara material maupun spiritual. Sains yang ada
sekarang telah mampu memenuhi kebutuhan manusia secara umum, namun mengandung
nilai-nilai barat yang bertentangan dengan Islam.[43]
Dengan adanya sains Islam modern, diharapkan mampu lebih memenuhi kebutuhan
masyarakat Islam dengan tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
3.
Dewasa ini, umat Islam kehilangan jati diri keislamannya. Tidak
sedikit umat Islam yang tidak mencerminkan nilai-nilai keislaman dan jauh dari
ajaran agamanya.[44]
Salah satu penyebabnya adalah kurangnya pendidikan agama atau penerapan
nilai-nilai agama Islam di sekolah-sekolah. Sehingga, generasi yang tercipta
dari sistem pendidikan tersebut jauh dari agama.[45]
Dengan adanya sains Islam dalam kurikulum pendidikan, diharapkan mampu
melahirkan ulama yang intelek bukan intelek yang beragama.
4.
Dampak dari dikotomi ilmu pengetahuan yang terdapat dalam kurikulum
pendidikan berakibat pada sempitnya kajian pembelajaran yang ada di
sekolah-sekolah. Batasan-batasan ajaran yang diajarkan tidak menyeluruh.
Padahal, ajaran Islam bersifat universal dan menyeluruh. Menurut Islam, semua
ilmu pengetahuan itu penting untuk dipelajari dan tidak ada batasan objek
kajian suatu ilmu.[46]
Dengan adanya sains Islam dalam kurikulum diharapkan mampu memperluas
pengetahuan peserta didik dengan tidak memisahkan ilmu pengetahuan dengan
sumbernya yaitu Quran
Empat poin di atas menyadarkan, bahwa penting
sekali memasukkan sains Islam ke dalam kurikulum pendidikan. Dalam pendidikan,
sains dan agama tidak dapat dipisahkan. Dengan berintegrasi dengan ilmu
pengetahuan, pendidikan Islam menjadi menyeluruh. Karena pada hakikatnya Islam
tidak mendikotomi ilmu pengetahuan dan dari Islamlah ilmu pengetahuan muncul.
KESIMPULAN
Quran
yang merupakan kitab suci umat Islam sebagai pedoman hidup telah menuntun
manusia membedakan yang hak dan batil, juga menuntun untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan. Dengan adanya sains Islam dalam kurikulum pendidikan diharapkan
tujuan pembelajaran Islam yang mengarahkan peserta didik untuk lebih mengenal,
memahami, menghayati, mengimani, bertakwa, dan berakhlak mulia dalam
mengamalkan ajaran agama Islam yang bersumber dari Quran dan Hadist.
Karena
sejatinya agama tanpa ilmu tidak akan dipahami dan ilmu tanpa agama tidak akan
mencapai kebenaran yang hakiki, karena sumber metafisik kedua berasal dari satu
sumber yang sama yaitu Allah. Dalam penerapannya, metode yang digunakan dalam
pengajaran ilmu dan agama saling melengkapi satu sama lain. Nilai kebenaran
ilmu pengetahuan ditentukan oleh agama, dengan begitu perkembangan ilmu
pengetahuan akan selalu konsisten berdasarkan nilai-nilai moral agama.
Dengan
memasukkan sains Islam dalam kurikulum diharapkan mampu membangkitkan kembali
masa kejayaan Islam terutama dibidang ilmu pengetahuan dengan melahirkan
generasi-generasi ulama yang intelek dengan ilmu pengetahuan yang luas, bukan
intelek yang beragama. Juga mampu melahirkan umat Islam yang ber-Iman, Islam,
dan Ihsan.
DAFTAR PUSTAKA
Aminudin. “Pendidikan Islam Yang
Berkualitas.” Al-Munzir 7, no. 1 (Mei 2014).
Ansari,
Endang Saifuddin. Sains Falsafah dan Agama. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa
dan Pustaka, 1992.
Asri,
M. “Dinamika Kurikulum di Indonesia.” Modeling 4, no. 2 (September
2017).
Bahruddin.
“Islamisasi Ilmu Pengetahuan.” Sekolah Tinggi Ilmu Syari’ah Nahdlatul Ulama,
t.t.
Budi
Handrianto. Islamisasi Sains Sebagai Upaya Mengislamkan Sains Barat Modern.
Jakarta: Pustaka Kausar, 2010.
Chanifudin,
dan Tuti Nuriyati. “Integrasi Sains dan Islam Dalam Pembelajaran.” Asatiza:
Jurnal Pendidikan 1, no. 2 (Mei-Agustus 2020).
Daud,
Ridhwan M. “ISLAMISASI PENDIDIKAN DI SEKOLAH: Sebuah Harapan dan Tantangan.” Jurnal
Ilmiah DIDAKTIKA 12, no. 1 (Agustus 2011): 173–86.
Hariyanti,
Yunita. “Urgensi Islamisasi Sains Dalam Menghadapi Modernisasi: Pendekatan
Teologis.” Al-Hikmah Jurnal Studi Keislaman 9, no. 1 (Maret 2019).
Hube,
R.H. The Ecounter Between Science and Christianity. Grand Rapids: W.B.
Eerdmans, 1976.
Iswantir.
Pendidikan Islam Sejarah, Peran. dan Kontribusi Dalam Sistem Pendidikan
Nasional. Bandar Lampung: Aura Publisher, 2019.
Juleha,
Siti. “Problematika Kurikulum dan Pembelajaran Penididikan Karakter.” Jurnal
Penelitian Islam 7, no. 2 (2019).
Mahmudah,
Siti. “Islamisasi Ilmu Pengetahuan.” Al-Riwayah Jurnal Pendidikan 7, no.
2 (September 2015).
Mansir,
Firman. “Diskursus Sains Dalam Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah dan
Madrasah Era Digita.” Kamaya: Jurnal Ilmu Agama 3, no. 2 (2020).
http://jayapanguspress.penerbit.org/index.php/kamaya.
Masduki.
“Pendidikan Islam dan Kemajuan Sains: Historisitas Pendidikan Islam yang
Menceahkan.” Jurnal Pendidikan Islam 4, no. 2 (Desember 2015).
https://doi.org/10.14421/jpi.2015.42.261-275.
Musa,
Muhajir Ali. Lessons From The History of The Quran. Lahore: Muhammad
Asyraf, 1976.
Qardawi,
Yusuf. Al-Iman Wa Al-Hayat. Kaheran, 1986.
Qutb,
Muhammad. The concept of Islamic Education. Proceedings Second World Confrerence
Muslim Education. Islamabad, t.t.
Qutb,
Sayyid. Fi Zilal al-Qur’an. 12 ed. 1. Beirut, 1986.
Rahman,
Afzalu. Quranic Sceinces. Singapura: Pustaka Nasional, 1981.
Salafudin.
“Islamisasi Ilmu Pengetahuan.” Forum Tarbiyah 11, no. 2 (Desember 2013).
W., Haris,
dan Judith S. Lever. The New Colombia Encyclopedia. Colombia: Colombia
Univ. Pres, 1975.
Wahyuni,
Fitri. “Kurikulum Dari Masa Ke msa( Telaah Atas Pentahpan Kurikulum Pendidikan
di Indonesia).” Al-Adabiya 10, no. 2 (Juli 2015).
Zaenudin.
“Pembaharuan Sistem Pendidikan Islam.” Risalah Jurnal Pendidikan dan Studi
Islam 1, no. 1 (Desember 2015).
Zainiyati,
Husniyatus Salamah. “Islamisasi Ilmu Pengetahuan (Sains) Sebagai Upaya
Mengintegrasi Sains dan Ilmu Agama: Tawaran Epistimologi Islam Bagi Universitas
Islam Negeri.” Fakultas Tarbiyah Dan Keguruan UIN Sunan Ampel, t.t.
https://kbbi.web.id/sains diakses pada tanggal 19/9 /21 pukul 19:18
http://klubbelajar.com/definisi-sains-detail-46860.html diakses pada tanggal 19/9/21 pada pukul 19:23
[1] Bahruddin, “Islamisasi Ilmu Pengetahuan,” Sekolah Tinggi Ilmu
Syari’ah Nahdlatul Ulama, t.t., 2.
[2] Siti Mahmudah, “Islamisasi Ilmu Pengetahuan,” Al-Riwayah Jurnal
Pendidikan 7, no. 2 (September 2015): 4.
[3] Bahruddin, “Islamisasi Ilmu Pengetahuan,” 1.
[4] Budi Handrianto, Islamisasi Sains Sebagai Upaya MengIslamkan
Sains Barat Modern (Jakarta: Pustaka Kausar, 2010), 158–59.
[5] Yunita Hariyanti, “Urgensi Islamisasi Sains Dalam Menghadapi
Modernisasi: Pendekatan Teologis,” Al-Hikmah Jurnal Studi KeIslaman 9,
no. 1 (Maret 2019): 3.
[6] Hariyanti, 4.
[7] Endang Saifuddin Ansari, Sains Falsafah dan Agama (Kuala
Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1992), 1.
[8] http://klubbelajar.com/definisi-sains-detail-46860.html diakses pada tanggal 19/9/21 pada pukul
19:23
[10]https://belajar.dedeyahya.web.id/2012/10/pengertian-perbedaan-ilmu-pengetahaun-sains.html
diakses pada tanggal 19/9/21 pada pukul 19:36
[11] Haris W. dan Judith S. Lever, The New Colombia Encyclopedia
(Colombia: Colombia Univ. Pres, 1975), 1478.
[12] R.H. Hube, The Ecounter Between Science and Christianity
(Grand Rapids: W.B. Eerdmans, 1976), 3.
[13] Ansari, Sains Falsafah dan Agama, 46.
[14] Afzalu Rahman, Quranic Sceinces (Singapura: Pustaka
Nasional, 1981), 15.
[15] Ansari, Sains Falsafah dan Agama, 45.
[16] Sayyid Qutb, Fi Zilal al-Qur’an, 12 ed., 1 (Beirut, 1986),
21.
[17] Yusuf Qardawi, Al-Iman Wa Al-Hayat (Kaheran, 1986), 166.
[18] Muhajir Ali Musa, Lessons From The History of The Quran
(Lahore: Muhammad Asyraf, 1976), 2.
[19] Muhammad Qutb, The concept of Islamic Education. Proceedings
Second World Confrerence Muslim Education (Islamabad, t.t.), 73.
[20] Fitri Wahyuni, “Kurikulum Dari Masa Ke msa( Telaah Atas Pentahpan
Kurikulum Pendidikan di Indonesia),” Al-Adabiya 10, no. 2 (Juli 2015):
232.
[21] Siti Juleha, “Problematika Kurikulum dan Pembelajaran Penididikan
Karakter,” Jurnal Penelitian Islam 7, no. 2 (2019): 160.
[22] Wahyuni, “Kurikulum Dari Masa Ke msa( Telaah Atas Pentahpan
Kurikulum Pendidikan di Indonesia),” 232.
[23] M. Asri, “Dinamika Kurikulum di Indonesia,” Modeling 4, no.
2 (September 2017): 194.
[24] Juleha, “Problematika Kurikulum dan Pembelajaran Penididikan
Karakter,” 162.
[25] Wahyuni, “Kurikulum Dari Masa Ke msa( Telaah Atas Pentahpan
Kurikulum Pendidikan di Indonesia),” 233.
[26] Farah
dina insani, Sejarah Perkembangan Kurikulum di Indonesia Sejak Awal
Kmerdekaan Hingga Saat Ini, As-Salam I, Vol. VIII No. 1, Januari – Juni
2019, hal.46-47
[27] Salafudin, “Islamisasi Ilmu Pengetahuan,” Forum Tarbiyah 11,
no. 2 (Desember 2013): 195.
[28] Salafudin, 196.
[29] Zaenudin, “Pembaharuan Sistem Pendidikan Islam,” Risalah Jurnal
Pendidikan dan Studi Islam 1, no. 1 (Desember 2015): 1.
[30] Aminudin, “Pendidikan Islam Yang Berkualitas,” Al-Munzir 7,
no. 1 (Mei 2014): 33.
[31] Zaenudin, “Pembaharuan Sistem Pendidikan Islam,” 5.
[32] Aminudin, “Pendidikan Islam Yang Berkualitas,” 34.
[33] Salafudin, “Islamisasi Ilmu Pengetahuan,” 196.
[34] Iswantir, Pendidikan Islam Sejarah, Peran. dan Kontribusi Dalam
Sistem Pendidikan Nasional (Bandar Lampung: Aura Publisher, 2019), 15.
[35] Iswantir, 17.
[36] Aminudin, “Pendidikan Islam Yang Berkualitas,” 39.
[37]Chanifudin dan Tuti Nuriyati, “Integrasi Sains dan Islam Dalam
Pembelajaran,” Asatiza: Jurnal Pendidikan 1, no. 2 (Mei-Agustus 2020):
213.
[38] Husniyatus Salamah Zainiyati, “Islamisasi Ilmu Pengetahuan (Sains)
Sebagai Upaya Mengintegrasi Sains dan Ilmu Agama: Tawaran Epistimologi Islam
Bagi Universitas Islam Negeri” (Prosiding Halaqoh Nasional & Seminar
Internasional Pendidikan Islam, Fakultas Tarbiyah Dan Keguruan UIN Sunan Ampel,
t.t.), 397.
[39] Chanifudin dan Nuriyati, “Integrasi Sains dan Islam Dalam
Pembelajaran,” 213.
[40] Ridhwan M. Daud, “ISLAMISASI PENDIDIKAN DI SEKOLAH: Sebuah Harapan
dan Tantangan,” Jurnal Ilmiah DIDAKTIKA 12, no. 1 (Agustus 2011): 178.
[41] Masduki, “Pendidikan Islam dan Kemajuan Sains: Historisitas
Pendidikan Islam yang Menceahkan,” Jurnal Pendidikan Islam 4, no. 2
(Desember 2015): 265, https://doi.org/10.14421/jpi.2015.42.261-275.
[42] Chanifudin dan Nuriyati, “Integrasi Sains dan Islam Dalam
Pembelajaran,” 221.
[43] Chanifudin dan
Nuriyati, 221.
[44] Chanifudin dan
Nuriyati, 221.
[45] Firman Mansir, “Diskursus Sains Dalam Kurikulum Pendidikan Agama Islam
di Sekolah dan Madrasah Era Digita,” Kamaya: Jurnal Ilmu Agama 3, no. 2
(2020): 149, http://jayapanguspress.penerbit.org/index.php/kamaya.
[46] Chanifudin dan Nuriyati, “Integrasi Sains dan Islam Dalam
Pembelajaran,” 221–22.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar